Oleh: Kang Oos Supyadin, Garut Selatan
YAYASAN-SNR.OR.ID – Dalam banyak sumber disebutkan bahwa pada akhir tenggelamnya kekuasaan pajajaran dimana pada naskah babad diceritakan terhadap sejumlah “Ratu Rujuh” diantaranya Cirebon Hilir, Cirebon Girang, Cirebon Tengah, Mataram, Solo, Mekah, Kandangwesi yang dimotori Prabu Borosngora atau di Kandangwesi dikenal dengan nama Iwung Bitung dan Haur Cengkup melakukan pertemuan yang digelar di Batu Tujuh sebuah tempat hutan belantara yang menjorok kearah laut sebelah selatan. Dalam isi babad Kandangwesi maupun makna silokanya pertemuan itu bertujuan membahas tentang kesundaan dan sikap kejatidirian termasuk tentang beberapa rahasia dan kebendaan. dalam isi ketetapan itu adalah :
1. Mengembalikan status wilayah Kandangwesi sebagai Bumi Nagara Selop Pandan Negara tersebunyi tanpa kekuasaan serta sebuah wilayah yang menjadi tempat berkumpulnya para penguasa kesundaan termasuk dalam penyelamatan rahasia pada akhir pengabdiannya.
2. Penyamaran dengan cara mengganti nama mereka serta gelar sebagai tokoh yang pernah berkuasa.
3. Menetapakan Ranca Kalima sebagai teuteukon hukum Kandangwesi
4. Menentukan sepuluh syarat Kesatria Pawestri atau pada ramalan kandangwesi sebagai generasi hawari (abdi setia) ; diantaranya sebagai cikal bakal Ratu kedelapan (rat nusa jawa kabeh)
Tragedy penyusutan kerjaan Padjajaran, beralihnya kemasa kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Sinopati anak angkat kesultanan Pajang (sultan hadiwijaya) yang diwaktu itu sebagai kerajaan pengganti paska terjadinya gejolak yang melumpuhkan kerajaan Demak. Besar dan berkembangnya kekuasaan Mataram dengan pesat disokong oleh kekuatan islam yang telah menyebar kebeberapa wilayah Terlebih pengaruh kasunanan Cirebon dapat dirasakan di Jawa Barat.
Maka dalam perluasan wilayahnya sekitar Tahun 1575 M sejumlah prajurit dari kesultanan Cirebon masuk ke wilayah Kadangwesi sehingga berhasil mendirikan Padaleman Kandangwesi dibawah kepemimpinan Sembah Dalem Drava Yuda I memerintah selama 7 tahun (1575-1582) yang tewas oleh longsor besar akibat meluapnya dua sungai cirompang dan cikandang yang saling bertemu disekitar pangadegan. kemudian digantikan oleh Sembah Dalem Drava Yuda II memerintah selama 50 tahun (1583-1633) yang mengangkat dua kepatihan yaitu Santana Jiwa dan Parana Jiwa. Selama kepemimpinannya Drava Yuda banyak dibantu oleh syeh yang lebih dulu menetap sebagai pandita pertapa yang memiliki julukan Hiyang Sembah Dalem Sireupeun IV termasuk menantunya sendiri yang menikah dengan anak bungsu yaitu Nimas Candra. kepemimpinan Drava Yuda II memerintah selama 50 Tahun (1583-1633) yang kemudian Kadipaten Kandangwesi dilanjutkan oleh Hyang Jatuna”
bermula dari komplik perlawanan Mataram ke batavia maka terjadinya perpindahan pengiriman upeti yang semula ke Cirebon menjadi ke Sukapura dengan maksud untuk memudahkan jalur pengiriman dan dari kesetiaannya maka tertoreh dua kali kandangwesi mendapatkan piagam berupa “Goong ” yang dikenal sebagai Goong Bojoeng. Ditengah situasi tersebut ditambah mulai masuknya para saudagar belanda yang melirik pembangunan perkebunan dikandangwesi melumpuhkan pengaruh mataram kebeberapa sector hingga terputusnya jalur pengiriman upeti ke Sukapura.
Berdasarkan sumber lain dikatakan pada 24 September 1665 atau bisa juga dimaksudkan sebagai tindaklanjut dari misi terdahulu Prabu Borosngora maka terulangnya sebuah pertemuan besar yang kali ini diselenggarakan oleh sejumlah bupati di sekitar Cianjur, Sukabumi dan Garut, mereka mengadakan musyawarah di Gunung Rompang (bagian dari pegunungan Beng-breng), Desa Loji, perbatasan antara Ciemas dan Palabuhan ratu. Sejumlah dalem menyempatkan hadir dalam pertemuan tersebut, seperti Sang Hyang Panai-tan (Adipati Sukawayana), Adipati Lumaju Gede Nyilih dari Cimapag, Dalem Nalama-ta dari Cipaminglds, Dipati Jayaloka dari Cidamar, Hyang Jatuna dari Kandangwesi Garut, Adipati Krutuwuna dari Parakanulu, dan Hyang Manda Agung dari Kerajaan Sancang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, yaitu mengangkat Dalem Cikundul/ Aria Wiratanu I sebagai pemimpin dengan gelar Raja Gagang (Raja Pegunungan). Catatan mengenai Raja Gagang ini tercantum dalam buku De Priangan jilid 2 dari Degregister Belanda tertanggal 14 September 1666 Masehi. “Dalam buku itu diterangkan bahwa Raja Gagang menyerahkan surat kepada Sersan Scipio, serdadu Belanda yang tengah melakukan pengukuran terhadap daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Isi suratnya menyatakan bahwa kerajaan pegunungan (Raja Gagang) tidak tunduk kepada siapa pun, Sisi lain sikap antinya itu yang ditunjukan melalui gerakan persekutuan secara grilyawan telah menarik simpati sejumlah penguasa yang beberapa diantara kekuasaannya sudah melemah. setelah peristiwa itu, kiprah Raja Gagang tidak terdengar lagi. Akan tetapi, baginya, hal itu merupakan bukti sikap anti dan perlawanan terhadap penjajah.
Akhirnya berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan.
Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu.
Kemudian menetapakan wilayah distrik kandang wesi dengan batas “Pasir Garu” atau 5 sungai besar sebagai perbatasan distrik.
Sekian dan salam,
*Penulis adalah pemerhati dan penggiat sejarah sunda