Mengungkap Sejarah Eyang Sembah Dalem Prabu Mastanu Jiwa Di Makam Dalem Bojong Kp. Mularajeun Mekarmukti Cilawu Garut


Oleh : Oos Supyadin, Pemerhati Kesejarahan & Budaya

Dari beberapa referensi yang saya baca, dibawah ini saya uraikan beberapa analisa pendekatan kesejarahan untuk mengungkap keberadaan Kyai Tanujiwa atau Ki Mastanu atau Raden Kyai Tanujiwa atau yang oleh masyarakat Cilawu Garut disebutnya Eyang Sembah Dalem Prabu Mastanu Jiwa dan hal-hal yang melatar-belakangi aktivitasnya terutama pada saat dia dan saudaranya menjadi opsir VOC, kemudian menjadi perwira, dan bahkan akhirnya menjadi Regent/ Adipati / Bupati sehingga melahirkan sindiran dalam bentuk pantun-lagu “Ayang-Ayang-Gung”.



Melatarbelakangi tulisan ini maka disebutkan gambaran afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1482-1579), cantik alamnya, bagus letaknya dan nyaman hawanya (72˚F /22˚C). Gubernur-Djenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) telah tertawan hatinya oleh daerah tersebut sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Maka langkah pertama hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerja2 Sunda menemui banyak pohon aren atau kawung yang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira alias lahang lagi (Bokor Kawung), maka sejak ketika itulah pula dari Bokor Kawung dinamakan Bogor
Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.

Kesedihan orang Sunda atas lenyap kerajaan Pajajaran yang begitu dikenal se Nusantara bisa digambarkan lewat lirik sebuah lagu berikut ini: “Leungiteun…kuring leungiteun…, dikamanakeun… ieuh… dikamanakeun, genclang herang cikahuripan di leuwi sipatahunan, direka na papantunan kiwari ngan kari ngaran, leungiteun… kuring leungiteun…., dikamanakeun ieuh…., dikamanakeun (kehilangan…. aku kehilangan…, dibawa kemana (Pajajaran)…. dibawa kemana?, air bening Cikahuripan di Leuwi Sipatahunan, dibuatnya lagu… saat ini hanya tinggal nama, kehilangan aku kehilangan…. dibawa kemana?, dibawa kemana?)

Siapakah sosok Eyang Sembah Dalem Prabu Mastanu Jiwa?

Dalam buku Sakawayana disebutkan bahwa Ki Mas Tanu Jiwa adalah putra dari SANTOWAN KADANG SERANG putera RADEN AJIMANTRI putera PRABU SURYAKENCANA RAGAMULYA (Raja terakhir Pakuan Pajajaran).

Baca Juga  Meluruskan Sejarah Makam Joho Bungbulang



Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah (1567-1569 M), Kerajaan Sumedang Larang saat itu adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena banyak Raja-raja Pajajaran dan Kerajaan Galoeh-Pakuan berasal dari keturunan Kerajaan Talaga sebagai asal mula kerajaan Sumedang Larang.

Pada saat Kesultanan Banten dibawah Kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf putera Sultan Hasanuddin menyerang Pajajaran, Prabu Suryakencana Ragamulya memerintah tidak di Ibukota Pajajaran di Pakuan (Bogor) tetapi di daerah Pulasari (Kabupaten Pandeglang, Banten). Oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 M, akan tetapi dari tahun 1578 Prabu Suryakencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.

Pada saat yang sama, di tahun 1578 M Prabu Suryakencana memerintahkan para Kandaga Lante sebagai Senopatinya untuk menyelamatkan Putra Mahkotanya yang bernama Raden Ajimantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya selain Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana yang diboyong okeh pasukan Banten dan diserahkan ke Sultan Maulana Yusuf di Banten.

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.

Mulai tahun 1610 sampai akhir masa colonial Belanda 1940, Sumedang menjadi wilayah Regentschap yang dipimpin oleh setingkat Regent / Bupati, dimana Bupati yang memerintah lebih dominan berasal dari keturunan langsung Kerajaan Sumedang Larang, sedangkan keturunan dari Prabu Suryakancana Ragamulya yang notabene sudah memberikan sebagian Pusaka Kerajaan Pajajaran, dan para Senopatinya sudah membantu berjuang melawan musuh-musuhnya, relative ditiadakan;

Layaknya keturunan Raja, Tanujiwa memiliki pendidikan, keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk ukuran rakyat biasa. Dia mengetahui secara pasti sejarah leluhurnya, nalar dengan kondisi terkini bahwa Kerajaannya sudah burak, sadar keadaan bahwa sekarang Kerajaan leluhurnya yang digdaya sudah beralih kepada Kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran, termasuk Kerajaan Sumedang Larang dimana dia dan keluarganya sekarang tinggal. Dia juga mengetahui dan menguasai medan wilayah Pajajaran termasuk Pakuan dan Batavia, mengerti tata pemerintahan dan politik kerajaan, ahli dalam beladiri dan kemiliteran;

Sebagai keturunan langsung Raja Pajajaran, Ki Mas Tanujiwa berserta saudaranya pasti memiliki obsesi dan ambisi ingin menghidupkan kembali kerajaan leluhurnya yang sudah 50 tahun ditinggal oleh pasukan Banten setelah menghancurkan Pajajaran tahun 1579 M, disisi lain wilayah Batavia yg dulunya sebagai andalan Pajajaran yang sekarang dikuasai Banten, akhirnya pada tahun 1619 dapat dikuasai VOC, semakin memperkuat keinginannya untuk memainkan peran politiknya pada jaman yang tidak menentu.

Ketika Mataram mengerahkan pasukannya ke Batavia untuk mengusir VOC tahun 1629 maka saat itu usia Ki Mas Tanujiwa sekitar 14 tahun, karena ia lahir tahun 1615.

Sekitar tahun 1700 Ki Mas Tanujiwa berhasil menjadi adipati alias Dalem alias Bupati, malahan bersama Prawatasari berbalik menjadi melawan Belanda. Hingga akhirnya Dalem Tanujiwa dikejar dan menghindar dengan membuka perkampungan yaitu di Mekarmukti Cilawu hingga wafatnya dan dimakamkan di Bojong yang kini oleh masyarakat setempat disebutnya Makam Keramat Eyang Bojong.

Menurut kang Rahmat alias Aceng Sancang sebagaimana cerita dari orangnya dan para kuncen sebelumnya pada saat acara bersilaturahmi dan berziarah tanggal 26 Desember 2024 bersama beberapa rekan dari tim Dewan Adat Kab Garut seperti Kang Cepi, kang Dadan, kang Warjita juga ditemani kang Adin bahwa di Makam Keramat Eyang Bojong ini terdapat beberapa Makam yang dikeramatkan yaitu :
1. Makam pembuka, Eyang Sembah Dalem Polisi
2. Makam utama yaitu Eyang Sembah Dalem Prabu Mastanu Jiwa / Sembah Dalem Bojong beserta istrinya Nyimas Dewi Margatana alias Eyang Istri , lalu ada Eyang Pameget
3. Makam bawah yakni dekat Cai Kahuripan pancuran 7 adalah Nyimas Dewi Mayang Cinde .

Nama Mas Tanu Jiwa pun bisa ditemukan dalam lagu Sunda dengan sebutan di lagu itu dengan nama “Ki Mastanu”. Lagu itu mengingatkan pada kakawihan barudak Sunda “Ayang Ayang Gung”. Kira-kira seperti inilah liriknya,

Ayang ayang gung
Gung goongna rame
Menak ki Mastanu
Nu jadi wadana (bupati)
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung kompeni
Niat jadi (naek) pangkat
Katon kagorengan
Ngantos Kanjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong

Lagu tersebut merupakan lagu yang secara turun temurun dinyanyikan oleh barudak (anak kecil) di Tatar Sunda. Sekitar tahun 60-an Pa Ekik Barkah, mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Kesenian Universitas Padjadjaran, memodifikasinya menjadi suatu bentuk seni pertunjukkan teatrikal dengan nama Kaulinan Urang Lembur.

Hingga sekarang pertunjukkan seni teatrikal Kaulinan Urang Lembur tersebut masih dimainkan oleh Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran (LISES UNPAD), terutama dalam kegiatan Pementasan Mandiri Lises Unpad dengan nama Kaulinan Barudak Baheula. Lagu Ayang Ayang Gung ini merupakan salah satu lagu yang sarat makna dan kritik sosial. Namun sayangnya di era millenial ini lagu Ayang-Ayang Gung sepertinya sudah tidak lagi menjadi pengiring permainan anak-anak.

Semoga tulisan ini bermanfaat

Salam Rahayu

Tinggalkan Balasan