Oleh : Kang Oos Supyadin, Pemerhati Kesejarahan & Budaya

Gunung Susuru (ada yang menyebutnya Gn Cisuru atau Gn Haruman) terletak di wilayah perbatasan Desa Hanjuang Kecamatan Bungbulang, dengan Desa Mekarsari Kecamatan Mekarmukti Sebelah selatan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

Gunung tersebut terbilang tinggi dan sangat terkenal dengan adanya pohon besar. Untuk menuju ke lokasi harus melewati jalan kecil berkelok, lalu nanjak ratusan meter hingga dengan kemiringan tanah 60-70 derajat serta semak belukar yang menghalangi sepanjang perjalanan.

Salah satu tokoh dan penggerak perjuangan pemekaran Garut Selatan sekaligus sebagai Penggiat Sejarah dan Budaya Kabupaten Garut pituin Cikelet yang kini tinggal di Kampung Cigolewang, Desa Bungbulang, Kecamatan Bungbulang, juga profesi Dosen, Kang Oos Supyadin dengan rasa penasarannya beliau pergi ke gunung tersebut, dan dia memaparkan hasil perjalanannya ke Gunung susuru yang menyimpan sejarah tersebut untuk mengguar atau membuka cerita sejarahnya yang lebih lengkap.

“Menurut kuncen atau sesepuh disana bernama Abah Uloh Hasbuloh bin Abah Sarjah bin Abah Marjasih Bin Eyang Alhipan (Tegal Laja) bahwa di Gunung Susuru alias Gunung Haruman ada petilasan Eyang Kuncung Putih yang berasal dari Jawa (keratonan Mangkunegara dan Jogyakarta alias Mataram) yang ketika bersembunyi di Gn Susuru ini beliau mengganti nama menjadi Eyang Syekh Leukah Putih, dan siapakah Eyang Kuncung Putih yang dimaksud tersebut inilah yang akan saya ungkap cerita sejarahnya.” ucap Kang Oos (6/6/2024).

“Juga di Gn Susuru ada petilasan Eyang Jayanegara yang merupakan pengawal perjalanan Eyang Kuncung Putih, lokasinya dibawah petilasan Kuncung Putih yang ada pohon Teureup yang sangat besar”, dalam penjelasan kang Oos berikutnya.

“Alhamdulillah saya di antar oleh anak mantunya Abah Buloh yang bernama Kang Dadan. Betul dilokasi ada pohon yang sangat besar, wilayah Kecamatan Mekarmukti, Bungbulang dan wilayah Kecamatan lainnya sangat terlihat apalagi pemandangan laut pakidulan sangat indah, Alhamdulilah saya bisa sampai di puncak nya Gunung Susuru, dan terlebih bisa ketemu dengan kuncennya, hingga perjalanan saya diberi kelancaran oleh Allah SWT.” tandasnya.

 

Siapakah Sosok Eyang Kuncung Putih Itu?

Dalam literatur sejarah kerajaan Sunda ditemukan banyak tokoh yang mendapatkan julukan Eyang Kuncung Putih. Namun jika merujuk kepada ceritanya Abah Uloh Hasbuloh yang saat ini sebagai kuncen Gn Susuru maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud Eyang Kuncung Putih disini bukanlah seorang tokoh dari Sunda tapi dari Kerajaan Jawa.

Lalu penulis menemukan literasi sejarah lainnya yakni adanya makam keramat di Kp Cidahu Cicurug Sukabumi dimana makam tersebut terkenal dengan nama Eyang Kuncung Putih Pangeran Kudratullah alias Eyang Santri alias Pangeran Djojokusumo yang berasal dari Jawa. Jika menilai dari perjalanannya dari Jawa hingga ke Sukabumi yang menelusuri jalur selatan pulau Jawa dan juga mempertimbangkan periode waktunya maka sangat besar kemungkinan bahwa Pangeran Djojokusumo dalam pelarian menghindar dari kejaran Belanda waktu itu maka ia sempat singgah beberapa lama di puncak Gunung Susuru Bungbulang. Dengan demikian menarik untuk diungkap siapakah sosok Eyang Kuncung Putih yang petilasannya tetap dirawat secara turun temurun mulai dari uyutnya abah Uloh yaitu Eyang Alhipan, lalu ke kakeknya yaitu Abah Marjasih, lalu ke bapaknya yaitu Abah Sarjah dan kini terakhir ke Abah Uloh yang usianya sudah mencapai lebih dari 80 tahun.

Baca Juga  Susunan Leluhur Kandang Wesi Garut

Seperti yang diceritakan kuncen bahwa di puncak Gn Susuru ada patilsanna Eyang Kuncung Putih alias Eyang Santri alias Pangeran Djojokusumo, yang konon saat tiba di Gn Susuru berganti nama menjadi Eyang Syekh Leukah Putih.

Pangeran Djojokusumo adalah cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yang bernama Pangeran Prabuamidjojo yang menikah dengan Puteri Ayu Trikusumo puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.

Pangeran Djojokusumo lahir pada tahun 1770, di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur.

Eyang Kuncung Putih ini merupakan guru dari Paku Buwono I, Mangkunegoro IV, Paku Buwono VI, Paku Buwono IX, Paku Buwono X, Mangkunegoro VII, HOS Cokroaminoto, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, D van Hinloopen Labberton, Ing Meyl dan yang terakhir adalah Bung Karno Presiden RI pertama, serta masih banyak tokoh-tokoh bangsa lainnya.

Pangeran Kuncung Putih wafat tahun 1929 dalam usia 159 tahun di Cidahu Sukabumi.

Salah satu alasan sewaktu beliau keluar keraton Jawa yakni akibat pertentangannya dengan Belanda karena membantu Pangeran Diponegoro maka ia memilih mengasingkan diri di Gn Susuru tersebut. Begini sejarahnya…

Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.

Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.

Baca Juga  Perspektif Sejarah : "Kaitan Kerajaan Di Tanah Bali Dan Kerajaan Di Tanah Sunda"

Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.

Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.

Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil Eyang Santri . Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.

Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagi Wahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri , setelah dirumah Eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga Eyang Santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri -lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah Eyang Santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri .

Baca Juga  Jejak Petilasan Syekh Haji Pandita Rukmim Di Leuweung Sancang

Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.

Ada beberapa cerita bahwa wajah Eyang Santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, hidup abadi dalam terminologi India? Yang jelas Eyang Santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun.

Silsilah Eyang Kuncung Putih sebagai berikut :

Pangerang Djojokusumo alias Eyang Kuncung Putih Pangeran Kudratullah alias Eyang Santri alias Eyang Syekh Leukah Putih putra

Pangeran Prabuamidjojo putra Rd Mas Said alias Pangeran Sambernyowo alias Mangkunegoro I putra KPA Mangkunegara putra Rd Mas Sura alias Amangkurat IV putra Pakubuwono I alias Pangeran Puger alias Raden Mas Darajat putra Amangkurat I alias Sunan Tegalarum alias Raden Mas Sayyidin putra Sultan Agung Mataram alias Raden Mas Jatmika alias Raden Mas Rangsang putra Sunan Nyakrawati alias Raden Mas Jolang putra Panembahan Senapati /Raden Bagus Dananjaya / Raden Ngabehi Saloring Pasar / Raden Ngabehi Salering Peken / Risang Sutawijaya / Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan putra Ki Ageng Enis putra Ki Ageng Sela alias Bagus Songgom putra Ki Getas Pandawa putra Dyah Lembu Peteng alias Bondan Kajawan alias Ki Ageng Tarub II putra putra Prabu Brawijaya V (hasil perkawinannya dengan seorang dayang putri dari Campa yang bernama Bondrit Cemara dari Wandhan).

 

Kesimpulan

Bahwa alasan mengapa petilasannya Eyang Kuncung Putih di Puncak Gn Susuru Desa Hanjuang Kec Bungbulang Kab Garut tetap dilestarikan secara turun temurun ternyata sosok orang bukan sembarangan baik dari jalur silsilahnya yang merupakan keturunan Raja Majapahit dan Raja Mataram juga beliau merupakan guru dari para tokoh dan pendiri negara Indonesia ini sebagaimana disebutkan diatas.

Semoga tulisan ini bermanfaat dalam khazanah memperkaya kesejarahan di daerah dan negara Indonesia.

Wallahualam

Tinggalkan Balasan