Oleh : Kang Oos Supyadin, Pemerhati Kesejarahan & Budaya
Mei Kartawinata lahir di Bandung tepatnya, di Jalan Kebonjati Desa Pasar Kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1897, adalah putra Rd. Kartowidjojo dari Rembang yang masih memiliki garis keturunan dari Brawijaya – Madjapahit, sedangkan Ibunda bernama Nyai Rd. Mariah dari Bogor, yang masih memiliki Garis keturunan dari Pangeran Sake/Bogor dan Pangeran Sugeri/Jatinegara (Siliwangi – Padjajaran).
Mei Kartawinata sempat bersekolah di Sekolah Kristen PADRI dimana di sekolah tersebut terdapat Zendingschool yang dipimpin oleh Ruitink, Borat dan Iken, selain bersekolah Mei juga mengikuti kursus di Kleine Ambtenaar Exament (KE).
Setelah tamat sekolah, pada 1914 dia bekerja di perusahaan percetakan (Drukkerij) di Bandung sambil sore harinya sekolah di Sekolah Partikelir. 1922, Mei Kartawinata memasuki dan aktif di organisasi perburuhan IDB (Indische Drukkerij Bond), sebuah organisasi yang aktif memperjuangkan nasib kesejahteraan kaum buruh dan seterusnya mengikuti gerakan-gerakan politik kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan.
Selanjutnya Mei pindah ke Cirebon dan bekerja di percetakan De Boer, sambil tetap aktif di perjuangan buruh dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Dia bertempat tinggal di lingkungan Keraton Kanoman dan tinggal di rumah Elang Otong.
Menginjak usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1922 itu juga, Mei Kartawinata menikahi seorang gadis asal Kampung Padamenak, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan – Jawa Barat, yang bernama Sukinah anak dari Perwatadisastra yang ketika itu bekerja di BAT (British American Tabacco) Cirebon.
Berhubung mertuanya tidak menyetujui putrinya bersuamikan orang yang aktif di pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan, dan Belanda sudah mencium gerakan Mei Kartawinata, maka Mei Kartawinata terpaksa membawa istrinya dari Cirebon dan pindah ke Sukamandi mengikuti ibu kandungnya Nyai Rd. Mariah dan kakaknya seibu Rd. Kartaatmadja.
Mei bekerja di Pabrik Tapioka Sukamandi, bagian listrik dengan tujuan menghindarkan diri dari incaran Belanda, dan selama di Sukamandi, Mei Kartawinata bersama istrinya dan rekan-rekan seperjuangan aktif keluar-masuk kampung-kampung menyebarkan paham kebangsaan melalui anjang sono dan pertunjukan sandiwara.
Hingga pada 1925 Belanda mencium adanya gerakan nasionalisme kebangsaan di Sukamandi dan melakukan penangkapan-penangkapan, hingga Rd. Kartaatmadja yang mengaku sebagai Mei Kartawinata (untuk melindungi) ditangkap, disiksa dan dijebloskan ke Penjara di Purwakarta, kemudian dipindahkan ke Balikpapan-Kaltim, selanjutnya ke Nusakambangan.
Sejak itu kondisi keamanan bagi Mei Kartawinata jadi berbahaya, sehingga harus berpindah-pindah tempat, dan setelah ibundanya meninggal dan dimakamkan di Sukamandi, dengan bantuan seseorang bernama Ganda, Mei Kartawinata bersama istrinya pindah ke kota Subang dan bekerja sebagai letterzetter di perusahaan percetakan Atelir-Subang (P&T Land) milik kongsi Amerika-Inggris. Setelah bekerja di Atelir, selanjutnya Mei mengajak teman lamanya M. Rasid dari Cirebon untuk bekerja bersama, hingga pada suatu waktu keduanya berkenalan dengan seseorang bernama Soemitra, yang kemudian ketiganya terjalin persahabatan.
Sepak Terjang Mei Kartawinata Setelah peristiwa 17 September 1927 di sisi Sungai Cileuleuy itu, Mei Kartawinata semakin disadarkan tentang makna dan tugas dari seorang manusia. Hubungan Mei Kartawinata dengan 2 sahabat karibnya, Rasid dan Soemitra, justru semakin erat dan akhirnya diantara ketiganya berikrar untuk saling mengakui sebagai satu saudara. Karena itu muncul istilah “tri tunggal”, dan sebagai bentuk penghormatan kepada ketiga tokoh ini, biasanya pengikut dari Mei Kartawinata memberi sebutan “Mama Karta, Mama Rasid, dan Mama Soemitra”.
Semenjak peristiwa 17 September 1927 di Cileuleuy – Subang Jawa Barat, perjalanan spiritual Mei Kartawinata semakin mendapat pencerahan, bukan saja pencerahan tentang memaknai ilmu kebatinan saja, tetapi menumbuhkan dan akhirnya makin membangkitkan semangat jiwa nasionalis dan patroitisme pada diri Beliau. Paham dan semangatnya itu, dia sebarkan di berbagai wilayah Pulau Jawa. Mei Kartawinata sangat menyadari pentingnya menumbuhkan semangat kebangsaan dan jiwa patriotisme di kalangan masyarakat, karena saat itu Negara kita masih dibawah cengkraman bangsa penjajah.
Mei Kartawinata sangat aktif dan lantang dalam menyuarakan kemerdekaan dan menentang aturan-aturan yang dibuat oleh bangsa penjajah yang terkenal kejam dan licik. Berbagai pergerakan beliau lakukan di berbagai wilayah pada masa-masa pengungsian dan masa gerilya. Dengan sepak terjang Mei Kartawinata seperti itu, membuat bangsa penjajah geram, hingga beliau masuk dalam daftar salah satu orang yang paling dicari.
Menurut beberapa catatan yang ada, Mei Kartawinata sempat merasakan hidup di bui, karena dianggap membahayakan dan merugikan kepentingan Bangsa Penjajah. Pada 1937 ditahan di Bandung, kemudian di 1942, saat penjajahan Jepang dipenjarakan selama 2 bulan di tahanan DAINYI Cigereleng (pinggiran Bandung selatan), lalu dipindahkan ke penjara Banceuy dan mendekam selama 2 bulan.
Beberapa waktu kemudian masih pada 1942 Mei Kartawinata ditangkap lagi dan dijebloskan ke Penjara Sukamiskin untuk menjalani vonis selama 2 tahun, namun baru mendekam 3 bulan sudah dibebaskan, karena didesak seluruh warga ajaran Mei Kartawinata dari Jawa Barat.
Pada 1946 ketika di Solo Mei Kartawinata diambil aparat keamanan dan dipenjarakan di Cirebon kemudian dipindah ke kota Yogyakarta. Setelah dibebaskan di Yogyakarta, Mei Kartawinata dipanggil presiden Soekarno dan meminta agar Mei Kartawinata meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, dan untuk memenuhi permintaan Bung Karno, selanjutnya Mei Kartawinata membentuk pasukan Gerilya MACAN PUTIH yang pergerakannya berpusat di Gunung Wilis, Tulungagung.
Pada 1950 ketika di Jakarta, Mei Kartawinata ditangkap di Matraman oleh Tentara Kala Hitam, karena dituduh terlibat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan mendekam selama 3 bulan di Penjara Glodok, Jakarta. Pada masa-masa pergerakan itulah, menurut beberapa saksi hidup, Mei Kartawinata menjalin hubungan dengan Ir. Soekarno. Jalinan hubungan mereka berdua lebih kepada diskusi dan saling bertukar pikiran dalam rangka menentukan nasib Bangsa dan merumuskan ide serta konsep Dasar Negara, yang kemudian dikenal dengan PANCASILA.
Sekalipun rumusan pemikiran Mei Kartawinata tentang Pancasila tidak pernah muncul pada lembar sejarah bangsa, namun kenyataannya nilai-nilai dan Konsepsi tentang Pancasila jelas-jelas sudah Mei Kartawinata tuangkan dalam buku-buku karyanya, yang dia tulis dan cetak jauh sebelum 1945, sebelum Indonesia Merdeka.
Secara kebetulan kelahiran Mei Kartawinata tanggal 1 Mei maka tidak bisa lepas dari pergerakan buruh di Indonesia. Hari lahir penyebar ajaran Kebatinan Perjalanan ini bertepatan dengan Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Dalam acara Pangeling-ngeling Kalahiran Mama Mei Kartawinata Anu ka-126 Tahun di Pasarean Mama Mei Kartawinata di Karang Pawitan, Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung pada 30 April 2023, Wakil Ketua Taruna Budi Daya, Indra Anggara mengatakan bahwa Mei Kartawinata punya perang penting dalam pergerakan buruh di Indonesia. “Karena bekerja sebagai buruh pada saat itu, yang mana buruh diperlakukan tidak manusia. Atas dasar itu, Mei Kartawinata aktif di IDB. Dia hampir ditangkap oleh Belanda karena dianggap punya pergerakan nasionalis,” katanya.
“Dia banyak menyadarkan banyak orang tentang pentingnya hak-hak sebagai warga negara. Mei Kartawinata banyak menulis tentang feodalisme, nasionalisme, bahkan ada yang dalam bahasa Belanda. Dari segi pemahaman sudah mengerti tentang prinsip tentang negara. Dia juga banyak bertukar pikiran dengan Soekarno pada saat di Bandung,” tuturnya.
Lalu seperti apakah ajaran kebatinan perjalanan (AKP) Mei Kartawinata tersebut? Mari kita lanjutkan membacanya pada tulisan berikut dibawah ini.
Konon pada hari Kamis Kliwon, tanggal 16 September 1927, di sebuah rumah di pinggiran hutan kampung Cimerta, Subang, Purwakarta, Mei Kartawinata bersama dua sahabatnya M. Rasyid dan Sumitra tengah berbincang hangat. Kala itu, mereka bertiga ditemani Sukinah, istri Mei, sembari menggendong Mariam, anaknya yang masih berusia 40 hari.
Membahas tentang kehidupan dan ilmu kebatinan, sudah menjadi kegiatan rutin mereka bertiga. Namun, tidak seperti biasa, percakapan mereka kala itu menjadi sedikit panas, ketika Rasyid memaksa menurunkan ilmu kanuragan kepada Mei Kartawinata.
Mei menolak dengan santun. Karena bagi dia, keselamatan diri tidak harus digapai dengan memiliki ilmu kekebalan tubuh. Keselamatan menurutnya tergantung dari tekad, ucap dan lampahnya (tingkah laku) sendiri.
Penolakan itu membuat Rasyid geram, mengingat hal itu ternyata sudah berulang kali terjadi. Merasa diremehkan, Rasyid merebut Mariam dari pelukan ibunya, kemudian melemparnya dan pingsan. Mei juga dicurigai Rasyid memiliki ilmu yang selama ini disembunyikan.
Tapi, Mei sabar dan menahan emosi. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Bayinya digendong dan diletakan di atas kakinya yang bersila. Putrinya didoakan, diusap dan ditiupnya ubun-ubun. Tidak disangka, bayi itu langsung menangis kemudian, perlahan sadar dari pingsannya.
“Itulah bukti kuasa, perlindungan dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa kepada makhluk-Nya,” kata Mei, dikutip dari Buku “Riwayat Hidup Bapak Mei Kartawinata”, karangan Drs. Adjum Djoenaedi.
Di situ, kesabaran Mei memang diuji oleh sahabatnya sendiri. Tak ingin adanya pertikaian, mereka bertiga saling menahan diri dan memilih untuk beristirahat, lantaran hari telah larut. Di tengah lelap, jelang tengah malam, satu keanehan terjadi. Tubuh Mei Kartawinata disinari cahaya terang. Kejadian itu sempat dilihat istri dan dua sahabatnya.
Rasa penasaran Rasyid semakin meningkat. Mei dibangunkan dan kembali berdebat tentang kanuragan. Mei menghindar dan kabur ke hutan, kemudian dikejar oleh Rasyid dan Sumitra. Tanpa sadar, matahari sudah memancarkan sinarnya. Sekiranya pukul 12 siang, Mei bersembunyi di sisi Sungai Cileuleuy, Kampung Cimerta yang berada di wilayah Subang, Purwakarta.
Ketika menenangkan diri dan beristirahat, Mei menatap aliran air Sungai Cileuleuy. Dari tatapan mata yang dalam hingga masuk ke dalam sanubarinya. Dia pun dikejutkan oleh “Suara Pitutur” atau nasihat yang kemudian dikenal dengan istilah “Wangsit“.
Merujuk buku Boedi Daja yang digitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, wangsit itu berisi sebuah nasihat tentang perjalanan dan jasa “Sang Air” kepada sesama makhluk, sebelum kembali lautan. Wangsit itu kemudian dijadikan oleh Mei Kartawinata sebagai Ajaran Kebatinan Perjalanan (AKP).
Kata “perjalanan” dipilih karena mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatannya terhadap ‘perjalanan’ air sungai yang mengalir menuju hilir. Dalam perjalanannya, air memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Tak hanya untuk manusia, namun juga bagi hewan dan tumbuhan.
Nilai itu yang kemudian diadopsi oleh Mei dalam mengembangkan ajarannya. Ia mantap meresapi hakikat bahwa setiap manusia harus memberikan manfaat bagi alam sekitar, sebelum perjalanan hidupnya berakhir.
Wangsit yang diterimanya juga dituliskan menjadi sebuah buku berjudul “Katineung”, disampaikan dalam bentuk Pupuh (puisi/pantun dalam Bahasa Sunda), sebanyak 17 buah, sesuai dengan tanggal penerimaan wangsit.
Seperti diketahui, AKP erat kaitannya dengan kepercayaan Sunda Wiwitan. Karena itulah, penerimaan wangsit kepada Mei Kartawinata menyadarkan kembali kepercayaan tatar Sunda kepada wangsit yang sebelumnya sempat hilang.
Agama-agama leluhur orang Sunda sendiri memang begitu menghormati alam sebagai pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan. Bagi para penghayat kepercayaan, alam semesta adalah tempat belajar dan menghayati segala keteraturan. Gunung, lembah, air, api, tanah, angin dan segala mahluk hidup diyakini menjalankan kodratnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.
Tak heran jika pada akhirnya, Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai “kitab suci”. Menurutnya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.
Merujuk hasil penelitian dari jurnal Universitas Islam Negeri Gunung Djati, milik Ilim Abdul Halim, Ajaran Kebatinan Perjalanan (AKP) ini, bisa dikatakan sebagai aliran kepercayaan Agama. Sebab, unsur-unsur agama terdapat dalam Aliran Kebatinan Perjalanan itu. Dalam AKP terdapat nilai yang dianut yaitu sehat, baik, benar, pintar dan selamat.
Sejatinya, ada banyak nama yang diberikan untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Agama Perjalanan dan Agama Buhun, orang-orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai atau Jawa-Jawi Mulya.
Bagi yang sedikit sinis, mereka biasanya menyebutnya “Agama Kuring”. Dalam bahasa Sunda, Kuring adalah kosakata untuk “Aku” atau “Saya”. Pendeknya, sebutan “Agama Kuring” bisa dimaknai sebagai upaya mendiskreditkan pemeluk agama ini, sebagai penganut agama ‘semau gue’.
Dalam proses perjalanannya, AKP sendiri tidak hanya berkait kelindan dengan kajian keagamaan, tapi juga tak lepas dari unsur politik. Mei gencar menyebarkan AKP sembari membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Hal itu dilakukan Mei, karena ia sadar pada saat itu bangsa Indonesia masih dalam cengkraman penjajah.
Mei pun mendirikan wadah untuk menampung para pengikut atau penghayat ajarannya yang namanya kerap berubah-ubah. Pertama, ia membentuk Perhimpunan Rakyat Indonesia Kemanusiaan (PRI Kemanusiaan) pada masa penjajahan Jepang. Usai pelaksanaan Pemilu 1955, nama PRI Kemanusiaan berubah menjadi Organisasi Perjalanan alias Lalampahan.
Jika melihat periode lahirnya aliran ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata, bisa dibilang kondisi Indonesia saat itu berada dalam masa kebangkitan, seiring dengan munculnya organisasi pergerakan seperti PNI, NU dan PKI. Pada tahun 1930 Mei Kartawinata kemudian menjadi aktivis perjuangan melawan penjajah.
Dia termasuk orang pribumi yang lantang dan aktif dalam menyerukan semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Paham ini pun mulai menyebar ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi, semakin luas ajarannya, nyawanya semakin terancam. Pada saat itu, dia dianggap membahayakan oleh penjajah.
Pergerakan ajaran Mei tercatat dilakukan di berbagai wilayah Pulau Jawa di masa gerilya. Sepak terjang Mei yang semakin militan, membuat bangsa penjajah kesal. Tak heran jika ia masuk dalam daftar salah satu orang yang paling dicari.
Semoga tulisan bermanfaat