ditulis: Kang Oos Supyadin, Garsel
Jika kita perhatikan kesenian-kesenian budaya dan tradisi Sunda dalam istilah lain dinamakan BUHUN ternyata mempunyai keterikatan yang mendalam dengan Islam, khususnya dengan budaya pesantren. Hal itu mungkin karena kesenian-kesenian buhun tersebut telah dipengaruhi budaya pesantren. Atau bisa juga dibaca sebaliknya bahwa kesenian yang bernapaskan Islam itu telah dipengaruhi oleh budaya Sunda.

“Kesenian-kesenian tradisional Sunda yang masih tersisa di sekitar Tasikmalaya dan Ciamis seperti Pantun Beton, Calung Tarawangsa, Beluk, Terebang Gebes, Terebang Sejak, Genjring Ronyok dan Ronggeng Gunung mengingatkan kita akan hal itu,” mengutip pernyataan penyair asal Tasikmalaya Acep Zamzam Noor Bin KH Ilyas Ruhiyat di gedung PBNU, Jakarta.
Masyarakat Sunda atau kebudayaan sunda sudah terbentuk jauh sebelum Islam masuk. Masyarakat sunda memeluk agama sendiri, juga sudah memiliki beragam jenis kesenian, termasuk sastra di dalamnya. Seorang dalang (juru pantun) di Sunda, misalnya, selalu mengawali pementasan dengan pembacaan rajah, semacam mantra untuk memohon restu dan keselamatan kepada para leluhur, batara-batari dan dewa-dewi.

Menurut Kang Acep yang juga putra mantan Rais ‘Am PBNU KH Ilyas Ruchiyat, setelah pengaruh Islam masuk, rajah atau mantra tersebut tidak dihilangkan namun permohonannya disampaikan juga kepada Allah SWT, Rasulullah, para wali, para ulama dan tokoh-tokoh setempat. Meskipun begitu, sesaji yang terdiri dari ubi-ubian, rupa-rupa kembang, rumput palias, minyak wangi, beras, telur, kopi, cerutu dan ayam saadi tetap harus dipenuhi sebagai syarat ciri berlangsungnya pementasan.
Ada beberapa ritual yang harus dilewati seperti puasa dan tirakat ala Islam. Banyak yang percaya bahwa kesenian ini bisa mendatangkan mahluk gaib ketika pementasan berlangsung. Kesenian ini dipentaskan bukan semata untuk hiburan, tapi juga bisa menjadi terapi penyembuhan bagi orang sakit, bahkan bisa membawa keberuntungan jika dimainkan saat panen di sawah.
“Belakangan hal-hal yang berbau mistik tersebut dikurangi karena menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat yang semakin islami atau dalam bahasa pesantren disebut nyantri,” kata kang Acep.

Terebang Gebes adalah satu di antara beberapa jenis kesenian buhun yang masih hidup di kampung Cirangkong, sebelah barat daya Singaparna. Kesenian terebang ini meski sudah ada sejak dahulu kala, namun bisa dipastikan muncul setelah masyarakat Sunda memeluk Islam. Terebang adalah sejenis alat musik perkusi seperti halnya rebana, genjring atau bedug yang sangat identik dengan kesenian Islam.
Di kawasan Priangan kesenian semacam ini banyak sekali jenisnya, yang umumnya berfungsi untuk mengiringi tembang atau shalawat. Namun perkusi dari Cirangkong mempunyai keunikan tersendiri, selain terbuat dari kayu nangka yang sangat berat karena ketebalannya, kulitnya pun harus dari kulit kerbau yang belum disamak. Kesenian ini juga tak lepas dari hal-hal yang berbau mistik.
Dulu kesenian terebang yang satu ini sangat digemari dan sering dijadikan arena adu kekuatan hingga tangan dan punggung para penabuhnya mengeluarkan darah. Dikatakan kang Acep, beberapa orang yang mengasuh kelompok kesenian buhun di Cirangkong, kesenian terebang bisa hidup sampai sekarang karena masyarakat masih membutuhkan.
Seperti juga kesenian-kesenian buhun lainnya yang masih bertahan, Terebang Gebes pun melakukan berbagai penyesuaian dengan kondisi lingkungan sekitar. Kini tak ada lagi sesaji atau kemenyan yang dibakar menjelang pementasan, begitu juga atraksi adu kekuatan sampai mengeluarkan darah jarang sekali dilakukan. Selain Terebang Gebes dan Beluk, di Carangkong masih hidup beberapa kesenian lain seperti Terebang Sejak di Kampung Adat Dukuh Cikelet, Rengkong, Debus dan juga Lais.
“Hampir semua pendukung dari kelompok-kelompok kesenian ini adalah petani, yang sehari-harinya juga rajin mengikuti pengajian di mesjid,” katanya.
Keterkaitan berbagai kesenian Sunda dengan Islam sudah mempunyai sejarah panjang, termasuk juga dengan wayang (golek dan kulit) yang pada beberapa bagian lakon dan tokoh-tokohnya mengalami penyesuaian dengan kepercayaan Islam, bahkan menjadi media dakwah Islam.
Islamisasi Tatar Sunda Dalam Sejarah Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh wilayah ini dianggap sebagai bagian dari etnik Sunda.Meski kota-kota ini bukan lagi masuk Jawa Barat, bagaimanapun mereka masih termasuk bagian dari Sunda. Sebab pada kenyataannya, pada wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar.
Sama seperti etnis Jawa, etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang. Salah satu fase sejarah yang paling penting adalah proses Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang memberikan kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda. Paling tidak, secara nominal, mayoritas suku Sunda menganut Islam hampir 99% lebih.
Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda, sekalipun pada kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti demikian, maka akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk menghancurkan “kebudayaan” masyarakat setempat. Padahal, sejatinya proses Islamisasi di Indonesia, apalagi menyangkut kebudayaan, pada umumnya merupakan proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan. Orang dengan sukarela menjadi Islam atau tidak.
Sementara persoalan politik sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan kekuasaan, daripada dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan. Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara Sunda dengan Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan ingatan perang antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan pertanda bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan.
Padahal, dalam ingatan budaya masyarakat Sunda, perang tersebut sudah tidak pernah lagi menjadi bagian yang penting untuk dijadikan identitas. Artinya, bagi mereka kejadian itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam proses Islamisasi yang mereka alami. Bahkan dalam alam pikiran masyarakat Sunda sebagaimana nanti akan dijelaskan sejarah Islamisasi yang mereka alami tidak pernah dikaitkan dengan permusuhan terhadap kelompok manapun.
Dalam catatan sejarah, Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa pada umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam adalah pada masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Namun demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal tradisional dipercayai bahwa orang yang pertama kali memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang atau Sang Bunisora putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa putra Prabu Ajiguna Linggawisésa, penguasa Kerajaan Galuh sebagai Raja Ke 32. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia terbiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Ciberon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh.
Bila cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu. Sementara kala waktunya, bila dikaitkan dengan penguasa Kerajaan Galuh Sang Bunisora yang berkuasa selama 14 tahun dari tahun 1357 hingga 1371 M, maka dapat kita ketahui bahwa peristiwa Bratalegawa atau Haji Purwa di atas terjadi sekitar abad ke-14.
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.Dalam Babad Cirebon, kisah perintis penyebaran Islam hampir mirip dengan cerita Bratalegawa. Hanya saja, tokohnya kali ini adalah Pangeran Walang Sungsang yang dikenal juga dengan nama Ki Samadullah, Ki Cakrabumi, atau Syekh Abdul Iman. Ia adalah anak penguasa Pajajaran Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang.
Hanya saja, ceritanya kemudian bercampur dengan mitos bertemunya Walangsungsang dengan nabi Muhammad SAW., padahal secara historis terjadi perbedaan zaman yang cukup jauh. Di daerah Priangan tokoh anak Prabu Siliwangi yang dipercaya menyebarkan Islam di Tanah Sunda adalah Kean Santang, dengan cerita yang hampir sama.
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho. Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya. Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam datang.
Artinya, peristiwa politik antara Banten dengan Pajajaran harus dilihat dalam konteks perebutan supremasi politik yang tidak selalu harus berkaitan dengan masalah keyakinan, terutama dalam konteks Islamisasi di Tatar Sunda. Islamisasi di Tatar Sunda sendiri berlangsung secara laten jauh sebelum terjadi berbagai konflik politik antara Kerajaan Islam Cirebon dan Banten dengan Kerajaan Pajajaran.
Menurut Hasan Mu’arif Ambary, Islamisasi di Nusantara, termasuk di Tatar Sunda melalui tahap-tahap yang hampir seragam, yaitu:
Pertama, adanya kontak antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang, pelaut, atau musafir dari berbagai belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia Tenggara, Persia, dan sebagainya. Periode ini, berlangsung antara abad ke-7 hingga abad ke-11. Kontak pergadangan ini menjadi argumentasi awal atas kemungkinan bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim dari negara-negara Islam.
Kedua, adanya kontak perdagangan internasional di atas, telah membuka kesempatan kepada penduduk Nusantara untuk mengadakan kontak secara khusus dengan para pedagang Muslim. Kontak inilah yang mula-mula memperkenalkan memperkenalkan Islam ke wilayah Nusantara. Sebagian penduduk Nusantara sudah mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya, tidak terkecuali di Tatar Sunda yang sebagian wilayah meliputi juga wilayah pesisir seperti Banten (temasuk Jakarta) dan Cirebon yang pada umumnya menjadi tujuan utama para pedagang internasional.Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pusat persebaran Islam yang pertama muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum abad ke-14.Hanya saja, kalau mengikuti logika sejarah tentang Bratalegawa yang anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum abad ke-14 komunitas Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki kontak dengan masyarakat di Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu saja ini perlu pembuktian lebih lanjut melalui penelusuran bukti-bukti sejarah baru dari wilayah Tatar Sunda yang sampai saat ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir maupun pedalaman. Fase ini berlangsung antara abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan sudah muncul beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda sendiri, seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah muncul komunitas Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon, Karawang, dan sekitarnya). Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan lainnya sudah muncul, berarti sudah tumbuh komunitas Muslim di sana. Bahkan bila merujuk kepada mitos tentang Kean Santang, anak Prabu Siliwangi, yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda besar kemungkinan sudah masuk pula ke pusat-pusat kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran.
Semoga bermanfaat 🙏🏻
*) penulis adalah salah satu pendiri Forum Silaturahim Assaatidz Garut (FORSIAGA)