Mengenang 136 Tahun Kitab Tafsir Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid Karangan Syekh Nawawi al- Bantani (20 Desember 1887 – 2023)

oleh : Oos Supyadin SE MM, Pemerhati Kesejarahan & Budaya

Pendahuluan

Telah banyak ulama nusantara yang mengarang kitab tafsir al Qur’an antara lain :

  1. Syaikh Abdurrauf As-Sinkili
    Ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615—1693) adalah pelopor tafsir di Nusantara. As-Sinkili merupakan ulama Nusantara yang memiliki reputasi internasional. Adapun karya As-Sinkili yang paling tersohor adalah Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab tafsir berbahasa Melayu-Jawi atau Arab-Pegon. Pada saat itu, bahasa Melayu dipakai dalam birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antarnegara, hingga perdagangan.
  2. K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani
    Pada masa yang lebih modern, ada juga K.H. Muhammad Soleh bin Umar As-Samarani. Dia adalah guru para ulama di pengujung abad 19. Kiai Soleh, sapaan akrabnya, menulis sebuah kitab tafsir berjudul Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, berkat dorongan R.A. Kartini yang juga merupakan muridnya. Awalnya, Kiai Soleh enggan untuk menafsirkan Al-Quran. Ia paham syarat menjadi seorang mufasir sangatlah berat. Namun, setelah dibujuk oleh muridnya tersebut, Kiai Soleh akhirnya luluh dan bersedia menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa. Kitab tersebut kali pertama dicetak di Singapura pada 1894. Kiai Soleh Darat yang merupakan guru K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan telah menandai salah satu fase perkembangan tafsir Al-Quran di Nusantara. Ia merupakan seorang ulama yang hidup pada akhir abad ke-19. Lahir di Kedung Jemplung Kec. Mayong Kab. Jepara pada tahun 1235 H/1820 M dan wafat pada hari Jumat, 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M serta dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang.
  3. K.H. Abdul Sanusi
    Pada 1930-an, ulama asal Sukabumi, K.H. Abdul Sanusi juga menulis kitab tafsir lengkap 30 juz yang berjudul Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Kitab tafsir itu ditulis dalam bahasa Sunda. Kiai Sanusi menulis 75 kitab dengan beragam perspektif keilmuan.
  4. Buya Hamka (Tafsir al-Azhar)
    Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Hamka dilahirkan di Tanah Sirah Desa Sungai Batang di Tepi Danau Maninjau Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M/14 Muharram 1326 H. Ia dikenal sebagai tokoh Islam Indonesia, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik yang mempunyai jasa besar bagi perkembangan khazanah keilmuan khususnya dunia Islam yang ada di Indonesia.
  5. Moh E. Hasim (Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun)
    Mohammad Emon Hasim dilahirkan di Kampung Bangbayung Kidul, Desa Cieurih, Kecamatan Cipaku, Kawali, Ciamis Jawa Barat pada tanggal 15 Agustus 1916. Moh E. Hasim dikenal sebagai guru, penulis tafsir, dan sosok yang baik serta bijaksana. Hasil dari masa belajarnya baik dari pendidikan formal dan informal Moh E. Hasim berhasil membuahkan beberapa karya, salah satunya yaitu Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun.
  6. K.H. Bisri Mustofa
    Ayahanda K.H. Mustofa Bisri, K.H. Bisri Mustofa, juga turut menandai perkembangan tafsir Nusantara. Bisri Mustofa, mufasir asal Rembang, Jawa Tengah tersebut sebenarnya bukan nama asli. Nama aslinya adalah Mashadi, baru pada 1923 setelah pulang dari Mekah menunaikan ibadah haji, ia mengganti namanya menjadi Bisri Mustofa. Karyanya yang paling monumental adalah al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-Aziz yang berjumlah 30 juz. Pengerjaan kitab tafsir itu kurang lebih empat tahun sejak 1957 sampai 1960. Kitab berbahasa Jawa ini juga telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Sunda, Indonesia, bahkan Belanda, Inggris, dan Jerman. Kitab ini juga mendapat pujian dari beberapa ulama seperti Habsy Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution, serta sarjana Belanda, Martin van Bruinessen. Seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis keturunan India, Muhammad Shahab Ahmed, juga tertarik mempelajari Tafsir al-Ibriz. Ia bahkan merekomendasikan kitab tersebut sebagai salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Harvard.
  7. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
    Saat ini, Indonesia juga memiliki ulama dengan reputasi internasional, yakni Muhammad Quraish Shihab. Ia dikenal sebagai seorang pakar tafsir kontemporer yang merupakan jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir. Dari beberapa karyanya di bidang tafsir, Tafsir Al-Misbah yang terdiri atas 15 judul bisa dikatakan sebagai karyanya yang paling monumental. Dalam menafsirkan Al-Quran, K.H. Quraish Shihab selalu membandingkan pendapat dari pakar yang satu dengan lainnya. Beberapa pakar yang kerap menjadi rujukan K.H. Quraish Shihab ketika menafsirkan Al-Quran di antaranya Ibnu Faris, Tabatabai, serta beberapa Syaikh dari Al-Azhar. Semoga beliau tetap selalu sehat… Aamiin
Baca Juga  Peristiwa Ratu Rujuh dan Raja Gagang Adalah Bagian Sejarah Garut Selatan untuk Lahirnya Ratu Sunda

Sedangkan beberapa mufasir Nusantara lainnya yang terkenal di antaranya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani dari Banten, Syekh Muhammad Yunus, Ustadz A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, Abdurrahim Haitami, K.H. Abdul Mu’in Yusuf, Anregurutta Daud Ismail, Hasbi Asshiedqy, dan Prof. K.H. Didin Hafiduddin.

Syekh Nawawi al Bantani

Dan secara khusus melalui tulisan ini saya ingin mengangkat kembali salah satu ahli tafsir yang sangat terkenal dalam dunia Islam kebanggan Nusantara yaitu Syekh Nawawi al Bantani. Nama lengkap beliau adalah Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H, dan beliau wafat pada 25 Syawal 1314 H/1897 M di usia 82 tahun. Syekh Nawawi merupakan seorang ulama yang namanya sudah termasyhur di kalangan umat Islam baik di Timur Tengah maupun di Asia khususnya di Indonesia.

Syekh Nawawi menulis kitab tafsirnya berbahasa arab. Beliau menamai tafsirnya dengan nama Marah Labid li Kasyfi ma’na al-Qur’an majid, lalu setelah itu dinamai juga al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil. Di Indonesia lebih terkenal dengan nama al-Tafsir al-Munir. Karya ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir di dalam dunia Islam yang ditulis pada abad 19 Masehi selain tafsir al-Manar karangan Syekh Muhammad Abduh dari Mesir. Kitab ini merupakan karya tafsir al-Qur’an pertama yang ditulis dalam bahasa arab secara langsung oleh seorang ulama yang berasal dari Banten.

Latar belakang Syekh Nawawi menulis kitab tafsir tersebut ialah karena atas permintaan beberapa temannya dan dorongan guru beliau agar ia menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Mekkah. Pada awalnya beliau ragu untuk menulis kitab tafsir tersebut, karena beliau takut termasuk dalam kategori yang disabdakan Rasulullah saw:

Baca Juga  Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H

من قال ﰲ القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

Artinya: “Siapa yang menafsirkan al-Qur’an hanya dengan akalnya, maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun benar tafsirannya”.( HR. Tirmidzi no. 2952)

Pada akhirnya, dengan ketawadhu’an dan pertimbangan pelestarian tradisi penulisan ilmu pengetahuan, beliau menyelesaikan karya besar ini.

Tafsir Marah Labid ditulis secara sistematis, dimulai dari surah Al-Fatihah hingga surah terakhir yaitu surah An-Nas yang terbagi dalam dua jilid. Beliau mengawali tafsirnya dengan muqaddimah, dilanjutkan oleh pembahasan-pembahasan lain. Di Muqaddimah, beliau mengawalinya dengan basmalah, hamdalah, sholawat layaknya kitab-kitab tafsir lainnya. Serta dalam Muqaddimahnya, menyebutkan latar belakang atau dasar penulisan tafsirnya, bahkan dengan kerendahan hatinya beliau menyebutkan berbagai sumber kitab-kitab tafsir yang digunakan sebagai rujukannya. Dalam kitab tafsir ini, Syekh Nawawi merujuk pada beberapa kitab tafsir para ulama terdahulu. Diantaranya ialah al-Futuhat al-Ilahiyyah karya Sulaiman al-Jamal (w. 1790 M), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (w. 1209 M), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570), dan Irsyad al-Aql al-Salim karya Abu Saud (w.1574).

Dalam menulis kitab tafsir ini, Syekh Nawawi cenderung menggunakan metode Ijmali (global) yang tergolong sebagai tafsir bil Ma’tsur. Kitab ini juga merupakan tafsir yang ringkas penjelasannya dimana penulisnya menganggap penting untuk tidak keluar dari alur konteks lafadz, menjelaskan makna dan tafsirnya, menyebutkan riwayat Qira’at, keutamaan membacanya, menyebutkan riwayat-riwayat asal yang membantu pemahaman makna serta menyebut Asbabun Nuzul.

Kitab ini selesai ditulis di Mekkah pada malam rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 Hijriah yang bertepatan dengan 20 Desember 1887 Masehi. Karya ini kemudian pertama kali dicetak oleh al-Mathbaah al-Ustmaniyah (Al-Amiriyyah) di Kairo, beberapa bulan setelah selesainya kitab tafsir tersebut. Setelah itu dicetak ualng berkali-kali hingga saat ini oleh banyak penerbit, baik di Timur Tengah maupun di Nusantara.

Baca Juga  Bagaimana Peran PEMDA Dalam Pengawasan Harga Eceran Tertinggi dan Distribusi LPG 3 KG

Semoga bermanfaat

Tinggalkan Balasan