oleh: Kang Oos Supyadin, Pemerhati Budaya dan Kesejarahan
A. Asal Mula Jamus Kalimasada
Salah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.
Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Bambang Sakutrem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wiyasa atau Abiyasa. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa yang lebih dikenal sebagai para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.
B. Kisah Alasan Prabu Kalamantara Menyerang Para Dewa
Betari Durga mengganti nama menjadi Prabu Kalimantara. Dewi Kamirati menjadi Dewi Suaragani, Batara Darma dewa manjadi Patih Tunggul Naga, Batara Bermasiwa menjadi Tumenggung Bermadaging dan Batara Kala Giri menjadi Bupati Kerawalang. Sedangkan Maya Dadali dan Ruda Dadali tidak mengganti nama.
Ketujuh dewa itu lalu mendirikan Kerajaan Cempaka Wasara. Prabu Kalimantara dan Dewi Surgani bersama-sama menjadi raja di negeri itu. Cempaka Wadara berkembang, menjadi kerajaan yang kuat dan luas kekuasaannya.
Ada keganjilan pada sikap Prabu Kalimantara. la tak pernah keluar untuk menemui rakyat dan abdi-abdinya. Hanya keenam jelmaan dewa itu sajalah yang dapat menemuinya. Hal itu membuat gundah rakyat dan para bupati, mereka mengira raja tak mau keluar karena mereka telah berbuat kesalahan.
Kegundahan rakyat lalu disampaikan Dewi Suragani. Prabu Kalimantara menyatakan ia tak mau keluar karena malu, sebab ia belum beristri.
Dewi Suragani menyarankan raja segera menikah, sebab ia telah dua puluh lima tahun bertahta. Tetapi Prabu Kalimantara tak mau beristri dengan bangsa manusia, sebab ia adalah jelmaan dewa. Kalimatara ingin menikah dengan Dewi Syadatwati.
Segeralah Maya Dadali dan Ruda Dadali diutus ke kayangan untuk. meminang sang dewi. Batara Guru sebagai raja kayangan melalui Batara Narada selaku patihnya menolak lamaran itu. Murkalah Maya Dadali dan Ruda Dadali.
Terjadilah perang sengit. Maya Dadali dan Ruda Dadali mengamuk. Batara Sambu, Batara Ludira, Batara Kamajaya, Batara Basuki Dewa Ruci semua tak ada yang sanggup melawan kedua orang itu.
Batara Guru lalu menitahkan Batara Narada untuk meminta bantuan Sekutrem. Maka turunlah Batara Narada ke Mayapada. Ternyata Sekutrem masih dalam kandungan. Dewi Maliwati baru hamil tujuh bulan.
Pada Semar, Batara Narada meminta izin untuk mengambil janin Sekutrem. Semar setuju asal Batara Narada menjaga bayi itu. Setelah itu Batara Narada mengoleskan minyak suci ke kelopak mata Dewi Maliwati. Sang dewi pun tak sadarkan diri. Dalam keadaan tak sadar itu perut sang dewi dibelah, janinnya dikeluarkan. Lalu perut itu dirapatkan lagi dan sang dewi kembali sadar.
Janin Sekutrem dibawa ke kayangan. Lalu Batara Guru menitahkan untuk membakar dupa, setanggi dan gaharu di tiap penjuru. Di kampung Widadarin juga dipasang dupa dan kemenyan. Lalu janin dibawa ke kampung Karang Widadarin. Disana janin diukup dengan asap dupa, sedang para widadarin menembangkan mantera-mantera. Maka tumbuhlah janin itu menjadi permuda yang gagah.
Kemudian Batara Guru menitahkan pemuda Sekutrem berperang melawan Maya Dadali dan Ruda Dadali. Majulah Sekutrem ke medan perang. Pertarungan sengit segera berlangsung.
C. Akulturasi Islam Pada Jamus Kalimasada
Kedatangan para pendakwah Islam dibawah komando para Wali Songo ataupun sebelumnya di tanah Nusantara khususnya pulau Jawa sangat diterima baik oleh penduduk lokal yaitu melalui jalan akulturasi budaya dengan menggeser makna-makna asal pewayangan dari Hindu menuju Islam, seperti halnya akulturasi budaya Hindu India ke Hindu Nusantara. Pada akulturasi Hindu-India ke Hindu-Nusantara, akulturasi ini berbentuk perubahan alur kisah, status maupun struktur wiracarita yang mewujud pada penokohan dan status tokoh yang ada dalam cerita. Ketika Islam tiba di Indonesia, sejak era akhir pemerintahan Sriwijaya, akulturasi budaya terjadi perlahan melalui bauran antara pendatang dari negeri-negeri di Timur yang menetap di wilayah Pesisir dengan penduduk Sriwijaya. Hal ini juga terjadi di wilayah Pulau Jawa dengan menetapnya pendatang dari negeri-negeri Timur di wilayah Pesisir Utara seperti Gresik.
Penyebaran Islam yang terjadi kemudian juga mengikuti pola akulturasi dengan mengadaptasi budaya Hindu-Buddha, memodifikasi simbolisasi dan menggeser pemaknaan yang sejalan dengan agama Islam. Akulturasi ini juga terjadi pada literatur Hindu-Buddha Nusantara, salah satunya adalah pemaknaan ulang metafora Jamus Kalimasada.
Menurut Salim A. Fillah, merujuk pada sumber-sumber manuskrip Het Boek van Bonang dan Serat Walisana, perubahan makna metaforis ini digunakan oleh Wali Songo, utamanya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam pada Jamus Kalimasada.
Jamus Kalimasada memiliki struktur kata yang mirip dengan Kalimat Syahadat. Dalam lakon wayang Serat Jamus Kalimasada, jimat Kalimasada digambarkan sebagai ageman yang bermakna senjata, dan pegangan yang berkonotasi dengan ajian dan kepercayaan. Ageman Kalimasada dimaknai oleh Sunan Kalijaga sebagai pegangan nilai dan pandangan hidup Islam yang menyelamatkan Punakawan dari kekeliruan hidup yang berujung pada api neraka.
Pada saat Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga ketika menyebarkan islam di tanah jawa menyampaikan syiar islam melalui media wayang beber.
Melalui media wayang beber tersebut dimasukan ajaran islam yang salah satunya kata Jimat Jamus Kalimasada. Dengan cara itu banyak masyarakat yang masuk agama Islam setelah mengetahui lebih dalam makna Jimat Kalimsada yakni kedua kalimat syahadat.
Salah satu sumber menjelaskan bahwa selepas Demak berdiri sebagai kesultanan Islam, Sunan Kalijaga membuat lakon-lakon wayang yang tak ada dalam kitab Mahabarata. Sunan Kali Jaga melakukan ini untuk memasukkan unsur Islam dalam budaya sebagai cara untuk berdakwah. Salah satu lakon penting adalah tentang Jimat Kalimasada atau di Sunda sering di sebut Layang Jamus Kalimasada, dan kalo di Jawa sering disebut Serat Jamus Kalimosodo.
Jadi alimasada adalah berasal dari Kalimat Syahadat ( Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali hanya Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Jimat Kalimasada ini apabila “diagem” (dipake / diyakini /diimani) kemudian diimplementasikan aturan yang terpancar darinya. Maka akan menjadikan diri, komunitas, masyarakat dan negara menjadi hebat dan kuat. Bila dilaksanakan untuk menata masyarakat dan negara maka akan menjadikannya gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kerta raharja, baldatun thoyyibatun waroffun ghofur.
Semoga bermanfaat