Prabu Tarusbawa, Raja Sunda Pertama (Raja Tarumanagara Ke XIII Tahun 669-670)


Oleh: Kang Oos Supyadin, Garut Selatan

Yayasan-snr.or.id,- Prabu Tarusbawa lahir dan besar di Sundapura (bekas ibukota Tarumanagara), dia putra Bagawat Angga Brama dan sebagai suami dari Dewi Manasih alias Dewi Minawati putra Prabu Linggawarnan Raja Tarumanagara Ke XII. Pada saat itu Sundapura sudah beralih fungsi dari ibukota menjadi tanah kabuyutan (daerah yang dianggap suci) yang disebut Sunda Sembawa.

Dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :

“Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”.
(Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India).

Jika diteliti lebih lanjut tentang sebutan raja Daerah Sunda, serta dikaitkan dengan prasasti Juru Pangambat yang ditemukan disekitar daerah prasasti Ciaruteun, yang menyatakan tentang pemulihan kekuasaan Sunda, istilah Sunda sebagai bentuk kerajaan sudah ada ketika masa Tarumanagara berdiri.

Bahkan disebut-sebut bahwa Purnawarman dimasa keemasannya mengendalikan pemerintahan Tarumanagara dari daerah (kota) Sunda. Sunda atau Suddha, Sindhu secara etimologis sudah dikenal sejak 4.000 SM atau sejaman dengan keberadaan Nabi Nuh as. Menurut para filolog mengenal adanya proto melayu yang dianggap lebih tua di Asia, namun proto Soendic (Sunda) jauh lebih tua ribuan tahun dari proto melayu (Bern Nothover, 1973).

Mungkin pula alur ini berhubungan dengan penemuan istilah Sunda sebagai akronim dari Prabu Shindu, yang ajarannya merebak hingga ke Jepang (Shinto) dan Mahenjodaro (India), kemudian disebutkan sebagai ajaran Hindu.

Konon kabar artefak ajaran ini masih dapat ditemukan di Bali dan penganut Sunda Wiwitan. Para penganut ajaran ini pun meyakini, bahwa ajaran ini asli berasal dari Bumi Nusantara, bukan dari luar.

Demikian pula masalah cikal awal kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan, masih panjang silsilah keatasnya, yang konon belum terpecahkan. Tentang para perintis kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan diuraikan oleh Undang A. Darsa dan Edi. S. Ekadjati didalam menjelaskan : Garis besar Isi Fragmen Carita Parahyangan (Buku Tulak Bala : 2003).

Para perintis kerajaan Sunda yang dimaksud adalah:

1. Bagawat Angga Sunyia yang berkedudukan sebagai Batara Windupepet,
2. Bagawat Angga Mrewasa yang berkedudukan sebagai Prabu Hujung Galuh,
3. Bagawat Angga Brama berkedudukan di Pucung, namun dibunuh oleh Sang Pandawa.

Kisah ini diuraikan, sebagai berikut :

“Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Sunyia diadegkeun Batara Windupepet; windu ngabener pet nga pegat pegatkeun. Ulah teresna, ulah dekkabawa ku rupa warna, ulah kabawa ku sakaton sakareungeu. Haywa mido, mi telu, adana siya rabi siya tunggal. Lamunfa dek mido, mitelu, maka nguni carut di carrek kaliyuga. Pamalina tan yogya sengguhheun tunggal. – Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Bagawat Angga Mre wasa diadegkeun Prebu Hujung Galuh, siya jagat palaka. Ulah siya pakadang-kadangan, nyandung sapilanyceukan, ngala rabi sama rabi, ngala hulanyjar ka huma ti urang kaluaran, munuh tanpa dosa, midukaan tanpa dosa. Anaking, eta pamali prela ya na bwana pamalina. Tutuc sapurabuc payu ka Pakwan. Ku Maharaja Tarusbawa, Bagawat Angga Brama diadegkeun [Maharaja Tarusbawa] (Bagawat) Suci Mayajati. – Sumaur Bagawat Suci Mayajati, “Pun, kami dipipejah bwana ku Sang Pandawa.” Memeh munggah maring sorga dingaran an deui ku Maharaja Trarusbawa, dingaran na buyut lingga. Leupas ti inya sangkanna menta pulang ka Pucung. Sadatang ka unggal tahun, Maharaja Tarusbawa kena na panyji na lemah. Anggeus ta indit Sang Hyang Rancamaya, dipindahkeun Sang Hyang Nagasusupan di Sang Ratu Mambang, Sang Ratu Kalasakti.”

Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan pula, bahwa Tarusbawa adalah pengganti Bagawat Angga Brama, yang di bunuh oleh Sang Pandawa (Kuningan). Kelak Sang Pandawa pun mampu mengalahkan Sanjaya, dan mengejarnya hingga ke daerah Galuh. Jika dilihat periode masa Klasik di tatar Pasundan, adanya pengaruh politik dan kerajaan, disinyalir dimulai pada masa berdirinya Tarumanagara, maka pada masa Tarusbawa, Pakuan mengendalikan para penguasa daerah lainnya. Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa Maharaja Tarusbawa mengeluarkan pangwereg ‘ketentuan berupa hak’ bagi para penguasa wilayah di kerajaan Sunda, serta pamwatan. Istilah Pamwatan diterjemaahkan sebagai kewajiban mempersembahkan upeti’ sebagai tanda setia.

Adapun para penguasa daerah yang disebutkan didalam naskah, adalah :

1. Sang Resi Putih dinobatkan sebagai Batara Danghyang Guru di Galunggung yang berpusat di Sukasangtub.
2. Bagawat Sangkan Windu di Denuh yang berpusat di Jambudipa.
3. Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai Batara Waluyut di Mandala Cidatar yang berpusat di Medang Kamulan.
4. Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai Batara di Geger Gandung yang berpusat di Bantar Bojong Cisalak.
5. Bagawat Resi Karangan dinobatkan sebagai Preburaja di Kandangwesi yang berpusat di Papandayan.
6. Bagawat Cinta Premana dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di Puntang yang berpusat di Gunung Sri.
7. Bagawat Tiga Warna dinobatkan di Mandala Puncung yang berpusat di Lamabung.
8. Bagawat Pitu Rasa dinobatkan sebagai Batara Sugihwarna di Mandala Utama Jangkar yang berpusat di Gunung Tiga”.

Para penguasa dan wilayahnya diatas menunjukan daerah kekuasaan Tarusbawa, bahkan di dalam pembahasan lainnya disebutkan mengenai batas-batas wilayah dimaksud, sebagai berikut :

a. Batas wilayah Galunggung : sebelah timur lereng Pelangdatar, sebelah utara lereng Sawal, dan sebelah barat tepi sungai Cihulan.
b. Batas wilayah Denuh : sebelah barat tepi Cipahengan hingga hulu Cisogong tapal batas Puntang, sebelah timur hulu Cipalu, dan sebelah utara hulu Cilamaya.
c. Batas wilayah Geger Gadung : sebelah barat tepi Cilangla yang, sebelah utara lereng Parakukan membentang ke Geger Handiwung serta Pasir Taritih terus ke muara Cipager Jampang hingga hulu Cilangla.
d. Batas wilayah Kandangwesi : sebelah barat tepi Cikandang wesi, sebelah utara lereng tapal batas Lewa.
e. Batas wilayah Puntang : Sebelah barat lereng Pakujang sampai Gunung Mandalawangi, sebelah utara lereng Kalahedong hingga Gunung Haruman, dan sebelah timur tepi Ciharus.
f. Batas wilayah Windupepet hanya disebut sebelah barat tepi Cikaradukun.
g. Batas wilayah Lewa : sebelah barat tepi Cimangkeh, dan sebelah utara lereng tapal batas Kandangwesi.

Selain wilayah tersebut, dijelaskan adanya daerah dibawah kekuasaan Tarusbawa, yakni wilayah Windupepet, berpusat di Gunung Manik dan wilayah Lewa, di Pacera. Asli naskah di maksud berisi sebagai berikut :

“Alasna Galunggung ti timur hanggat Pelangdatar, ti kaler hanggat Sawal, ti barat hanggat Cihulan. -Alasna Gegergadung ti barat hanggat Cilanglayang, ti kaler hanggat Parakukan, unggahna Geger Handiwung, Pasir Taritih, muhara Cipager Jampang diterus hulu Cilangla. -Alasna ti barat Cipatujah di muhara Cipalatih, ti barat hanggat gunung Kendeng. -Alasna Denuh ti barat hanggat Cipahengan, ti hulu Cisogong alasna Puntang, ti timur hulu Cipalu, ti kaler hanggat hulu Cilamaya, ti barat hanggat Abwana.-Alasna Windupepet di barat hanggat Cikaradukun. Alasna Pun tang ti barat hanggat Pakujang gunung Mandalawangi, ti kaler hanggat Kalahedong gunung Haruman, ti timur hanggat Ciharus. -Alasna Lewa ti barat hanggat Cimangkeh, ti kaler hanggat Wates. -Alasna Kandangwesi ti barat hanggat Cikandangwesi, ti kaler hanggat Wates. -Keh anggeus pahi kaduuman alas, diduuman ku Maharaja Tarrusbawa. Ja ini pawidyana alas, pawidyana desa: Sumur hulu alas Galuh. Heuleutna ti kaler hanggat Sukasangtub hulu alas Galunggung. Medang Kamulan hulu alas Cidatar. Bantar Bojong Cisalaka hulu alas Gegergadung. Gunung Tiga hulu alas Utama Jangkar. Jambudipa hulu alas Denuh. Lama bung hulu alas Pucung. Gunung Manik hulu alas Windupepet. Gunung Sri hulu alas Puntang.-Pacera hulu alas Lewa. Papandayan hulu alas Kandangwesi.

Fragmen Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Maharaja Tarusbawa berkuasa lama sekali di keraton Sri-Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Tarusbawa disebutkan digantikan oleh Maharaja Harisdarma (Sanjaya), tapi kemudian takhta kerajaan diwarisi para penggantinya secara berebutan. Mungkin istilah secara berebutan di terjemaahkan dari kalimat ‘turuna pa tiwah-tiwah’, sehingga nampak terus adanya perebutan kekuasaan, mulai dari Rakeyan Tamperan lalu kepada Rakeyan Banga, Rakeyan Wuwus, Prabu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panyjang, Sang Winduraja, dan berakhir kepada Rakeyan Darmasiksa.

Ketika melanjutkan tampuk kekuasaan dari mertuanya Linggawarman (Raja Tarumanagara ke-12), beliau dinobatkan sebagai Raja Tarumanagara ke XIII pada tanggal 18 Mei 669, dengan gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darma Wastika Manungga Manggalajaya Sunda Sembawa.

Menurut informasi dari sumber berita Cina, utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi pada tahun 669. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada negeri-negeri sahabatnya termasuk kepada raja Cina pada tahun 669.

Pada masa kekuasaannya, pamor Tarumanagara sudah sangat menurun, sehingga ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di ibukota Sundapura. Akhirnya pada tahun 670, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Jadi dapat dikatakan, bahwa Kerajaan Sunda adalah penerus resmi dari Kerajaan Tarumanagara.

Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan, yang kemudian dikenal dengan nama Pakuan. Di ibu kota baru inilah, Tarusbawa mendirikan 5 buah keraton yang bentuk maupun besarnya sama, dan posisinya berjajar. Keraton tersebut masing-masing diberi nama yaitu Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Setelah keraton tersebut selesai dibangun, kemudian diberkati oleh Bujangga Sedamanah di hadapan Tarusbawa. Tentang perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan didalam Fragment Carita Parahyangan, sebagai berikut :

“Dina urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kadatwan Bima–Punta–Narayana–Madura–Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah”.

(Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta–Narayana–Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).

Berita lainnya tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :

“Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadatwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”.

(Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa).

Peristiwa pergantian nama kerajaan ini kemudian dijadikan alasan oleh Wretikandayun (Raja Galuh pertama) untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Tuntutan pemisahan kekuasaan ini disampaikan melalui sebuah surat.

Menurut Nusantara III/1, surat Wretikandayun tersebut menyatakan, sbb :

“Sejak sekarang, kami yang berada diwilayah sebelah timur Citarum tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi tidak lagi mengakui Tuan (Pakanira) sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan diantara kita tidak terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi akrab.

Baca Juga  Susunan Leluhur Kandang Wesi Garut

Karena itu daerah-daerah sebelah barat Citarum tetap berada dibawah pemerintahan tuan sedangkan daerah-daerah disebelah timur Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak sekarang kami tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada tuan. Kemudian janganlah hendaknya tentara kerajaan tuan menyerang kami, galuh pakuan, karena tindakan itu akan percuma. Angkatan perang kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat dari angkatan perang Tuan dan sangat lengkap persenjataanya.

Disamping itu banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan angkatan bersenjata kami. Hal ini telah Tuan maklumi. Nanti kita rukun bersahabat sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat kita serta bersama-sama menjauhkan malapetaka. Semoga Yang Maha Kuasa memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal perikemanusiaan (karunya ning citaning samaya)”. (RpmsJB – Jilid 2, hal. 44).

Sebelumnya, kerajaan Galuh memang merupakan kerajaan dibawah pengaruh dari Tarumanagara. Dikarenakan Tarusbawa adalah seorang raja yang penyabar dan cinta damai, serta ingin menghindari perang saudara dengan Galuh, akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Galuh.

Kawasan bekas kekuasaan Tarumanagara kemudian dipecah menjadi dua kerajaan yang tingkatnya sejajar, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan sungai Citarum sebagai batasnya (Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh). Sebenarnya angkatan perang Kerajaan Sunda belum tentu kalah dari angkatan perang Galuh. Tetapi untuk membina sikap persaudaraan dengan Galuh, maka Tarusbawa berpikir lebih baik membina separuh kerajaan tetapi kuat, daripada menguasai seluruh wilayah kerajaannya dalam posisi lemah.

Sekitar tahun 684, terjadi suasana panas antara dua kerajaan besar di Nusantara yaitu Sriwijaya dan Kalingga (diperintah oleh Ratu Sima). Raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa merupakan sahabat dan saudara dari Tarusbawa (sama-sama menantu dari Linggawarman/raja Tarumanagara terakhir).

Untuk mengantisipasi keadaan panas yang berkelanjutan, pihak Kerajaan Sriwijaya menginginkan adanya kerjasama dengan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kalingga. Akhirnya, pada tanggal 22 Januari 685, Tarusbawa dan Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengadakan perjanjian kerjasama antar 2 kerajaan.

Perjanjian tersebut diabadikan oleh Tarusbawa dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sunda dan Melayu. Tetapi pihak Kalingga, jelas-jelas menolak ajakan kerjasama dari Sriwijaya. Tolakan dari Kalingga itu semakin membuat keadaan panas. Puncak dari permusuhan Kalingga-Sriwijaya terjadi pada tahun 686. Kedua kerajaan besar itu sudah menyiapkan armada perangnya untuk bertempur.

Sikap cinta damai Tarusbawa lagi-lagi terlihat, saat keadaan hampir tak terkendali, beliau mencegah Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk melakukan serangan ke Kerajaan Kalingga. Melalui saran dari Tarusbawa, akhirnya Sriwijaya mengurungkan niat penyerbuannya. Hal tersebut terlihat, ketika Sriwijaya mulai melunak dengan membebaskan kapal-kapal dagang Kalingga yang ditahan setelah merampas muatannya.

Tarusbawa memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Manasih (puteri sulung Linggawarman/raja Tarumanagara ke-12). Dari pernikahannya itu beliau memiliki seorang putera Rakryan Sundasembawa namanya. Sang putera mahkota Sunda ini wafat lebih dulu dari Tarusbawa.

Beruntunglah, sebelum putera mahkota Sunda ini wafat, dia sudah memiliki 2 orang puteri, yang kemudian si sulung ditunjuk sebagai puteri mahkota baru. Puteri-puteri ini bernama :

Sekar Kencana/Teja Kancana Ayupurnawangi, sekitar tahun 703 menikah dengan Sanjaya (anak Bratasenawa/raja Galuh ke-3). Dari pernikahannya itu lahirlah Rakeyan Panaraban/Tamperan Barmawijaya pada tahun 704.
Mayangsari, kemudian menikah dengan Anggada (putera Wangsanagara/patih Kerajaan Sunda).
Pada saat terjadi perebutan kekuasaan di Galuh (antara Bratasenawa dan Purbasora), Tarusbawa menghormati siapapun yang akan meneruskan tahta Galuh. Sikapnya ini kemungkinan besar, Tarusbawa tengah sibuk dalam memerangi gangguan bajak laut yang diam-diam didalangi oleh Sriwijaya di perairan Selat Sunda.

Meskipun antara raja Sriwijaya dengan raja Sunda bersaudara, tetapi kekayaan alam yang dimiliki oleh Kerajaan Sunda sangat membuat Sriwijaya menginginkannya. Apabila secara terang-terangan, mungkin Sriwijaya merasa malu untuk mengutarakan niatnya menguasai Sunda, maka lewat cara sembunyi-sembunyi seperti itulah Sriwijaya melancarkan niatnya.

Sementara itu perselisihan di Galuh terus berkecamuk dan kali ini melibatkan Sanjaya (suami dari Sekar Kencana/calon pengganti tahta Sunda). Silsilah Sanjaya yang merupakan anak dari Bratasenawa (raja Galuh yang terusir oleh Purbasora) tentunya merasa dendam kepada Purbasora.

Di saat terjadi kudeta di Kerajaan Galuh, Sanjaya sedang berada di Bumi Mataram (salah satu pecahan Kerajaan Kalingga) bersama neneknya (Dewi Parwati) yang berkuasa di sana. Ketika melihat sang ayah terusir dari tahta Galuh oleh Purbasora, maka timbullah perasaan emosi yang meluap-luap di diri Sanjaya.

Sanjaya berniat untuk membalaskan dendam ayahnya. Akan tetapi, Bratasenawa mencegahnya karena sang ayah terkenal begitu sabar dan taat beragama. Bratasenawa berpesan, bila pun akhirnya Sanjaya akan menuntut balas pada Purbasora, maka dia harus tetap menghormati sesepuh Galuh yang masih hidup (Sempakwaja dan Jantaka). Nasib Bratasenawa sendiri akhirnya menjadi raja di Bumi Mataram untuk menggantikan Dewi Parwati.

Sanjaya yang tekadnya begitu besar untuk menyerang Galuh, akhirnya terlaksana dengan bantuan pasukan dari Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi Sembara (keduanya merupakan pecahan dari Kerajaan kalingga).

Secara diam-diam pasukan tersebut memasuki wilayah barat Jawa, sedangkan Sanjaya sendiri menyamar ke Kerajaan Denuh untuk menemui Resiguru Jantaka (salah seorang sesepuh Galuh yang menjadi raja di Denuh).

Baca Juga  Kuatnya Pengaruh Dakwah Islam Rd Kian Santang Cucu Dari Ki Gedeng Tapa Lumajang Jati Di Tatar Garut

Pada tokoh bijak itu, Sanjaya meminta agar Resiguru Jantaka mau menjadi penengah atas pemberian hak waris yang sah untuk Kerajaan Galuh. Tetapi Jantaka menolak permintaan itu dan memilih bersikap netral, hal itu terjadi karena putera Jantaka yang bernama Bimaraksa sudah menjadi senapati Galuh dan termasuk salah satu pendukung Purbasora saat kudeta. Resiguru Jantaka juga meminta kepada Sanjaya agar tidak memusuhi dirinya dan Bimaraksa.

Masalah ini diceritakan dalam Carita Parahyangan :

“Carek Rahiangtang Kidul : “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, sarta anak saha sia teh?”. / Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut – kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.” / “Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.”

Setelah meminta restu pada Resiguru Jantaka, kemudian Sanjaya menuju Pakuan untuk menemui Tarusbawa (kakek istrinya). Dengan sikap bijaksananya, Tarusbawa mengatakan kepada Sanjaya bahwa kerajaan Sunda tidak bisa membantu karena secara diplomatik masih berhubungan baik dengan Kerajaan Galuh pimpinan Purbasora.

Tarusbawa sempat menasehati Sanjaya agar bertindak hati-hati karena pasukan Galuh terdiri dari orang-orang pilihan yang berasal dari Kerajaan Indraprahasta. Untuk menandingi kehebatan bertempur mereka, satu-satunya jalan adalah Sanjaya untuk meminjam Pustaka Ratuning Bala Sariwu (kitab konsep pembentukan negara yang aman dengan pasukan istimewa serta militan, warisan Kerajaan Kendan) yang saat itu berada di tangan Resiguru Rabuyut Sawal di kaki Gunung Sawal.

Atas nasehat dari Tarusbawa, Sanjaya menuju ke kaki Gunung Sawal untuk meminjam pustaka itu, dan akhirnya wilayah kaki gunung Sawal dipilih sebagai markas dan tempat berlatih dari pasukan Sanjaya. Setelah sekian lama berlatih, pasukan Sanjaya melakukan praktek untuk membantu Kerajaan Sunda dalam menumpas bajak laut. Ternyata teori dari Pustaka Ratuning Bala Sariwu sangat ampuh saat dipraktekan dan berhasil menumpas bajak laut.

Kisah perjalanan ini diabadikan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :

“Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal. / Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?”, “Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.” / Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakeyan Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.

Pada tahun 723, Tarusbawa wafat pada usia 91 tahun. Tahta kerajaan Sunda diserahkan kepada suami cucunya (Sanjaya). Sedangkan suami dari Mayangsari yang bernama Anggada diangkat menjadi Patih Kerajaan.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.

Sumber tulisan:
1. Naskah Wangsakerta
2. Naskah Carita Parahyangan

Tinggalkan Balasan