oleh: Kang Oos Supyadin (ki Samida Garut)
Apa sebenarnya Pohon Samida?, dalam makna kesejarahan bahwa rujukan kata Samida tertulis dalam baris ketujuh Prasasti Batutulis peninggalan Kerajaan Pajajaran. Prasasti tersebut dapat dilihat di Batutulis, Kota Bogor kiwari. Prabu Surawisesa, Putra Sri Baduga Maharaja yang menggantikan sebagai raja, memerintahkan membuat Prasasti Batutulis pada 1533, tepat 12 tahun mangkatnya Sri Baduga. Kalimat yang tertulis adalah untuk mengenang kebesaran raja yang pada masa pemerintahannya tersebut Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kesejahteraan, kejayaan.
“… la, gugunungan, ngabalay, nyinyan samida, nyinyan sang hiyang talaga (wa)rna mahawijaya… “
Upaya terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia salah satunya dilakukan oleh Hasan Djafar, arkeolog, ahli epigrafi, dan sejarah kuno– dikutip dari makalah pada Workshop Pembinaan dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Daerah, 2009– yaitu:
“… (berupa) gugunungan, memperkeras jalan, membuat samida, membuat Sang Hiyang Talaga (Wa)rna Mahawijaya… “
Dalam catatan kakinya, Hasan Djafar menjelaskan bahwa mungkin Samida merupakan hutan lindung yang kayu pohonnya digunakan dalam upacara. Dalam penutup makalah, Hasan menambahkan, “… membuat hutan larangan (samida)… “.
Pada 2019, Prof. Dr. Usep Soetisna, Botanis, menemukan kembali bahwa Samida adalah Pohon Plasa atau Palasa (dalam Bahasa Sunda) dan Ploso (dalam Bahasa Jawa) yang bernama latin Butea monosperma. Menurut mantan Kepala Kebun Raya Bogor ini, dalam Buku PROSEA, Plant Resources of South-East Asia 3, Dye and tannin-producing plants, disebutkan bahwa pohon ini banyak digunakan oleh pemeluk agama Hindu untuk upacara-upacara keagamaan.
Dalam diskusi yang berlangsung seusai penanaman bibit Pohon Samida, Usep Soetisna menjelaskan bahwa salah satu tambahan petunjuk adalah Kamus Marathi di India. Di sana disebutkan bahwa Samida adalah untuk pematik api pembakaran kayu atau kayu bakar. “Saya tidak harus menyebutkan pembakaran kayu untuk pembakaran mayat ya, karena kalau sekarang kita mengenalnya korek api kayu. Di India, di Nepal simbolis, kayu Palash ini adalah simbol untuk membuat api pemujaan Dewa Agni,” kata Usep.
Sedangkan potensi manfaat Pohon Samida, menurut Usep Soetisna banyak sekali. Salah satu contoh, otoritas rehabilitasi lahan bekas tambang di Konawe, Sulawesi Tenggara, sudah memasukkan Samida sebagai salah satu komponen untuk rehabilitasi lahan. “Informasi Samida untuk rehabilitasi lahan yang terdegradasi, termasuk DAS (Daerah Aliran Sungai), banyak di luar. Di Indonesia sendiri masih dilihat sebelah mata, karena belum ada yang mempraktekkan,” ujar Usep. Selain itu, dari Bunga Ploso bisa didapat madu dengan kualitas yang baik dan khas, Madu Bunga Ploso. Sedangkan di Australia sudah dihasilkan suplemen dari Bunga Palash.
Masih menurut Usep, di India sudah diriset manfaat dari Pohon Ploso, baik dari daunnya, kulit batangnya, kayunya, hingga akarnya. Getah dari Pohon Plasa dipakai untuk membiakkan Kutu Lak, yang menghasilkan produk sampingannya. Akar dan daunnya untuk obat aprodisiak dan obat diabet. Daunnya yang dilumatkan dengan air bisa untuk obat cacingan. Ada juga yang untuk obat radang paru-paru. “Akar Pohon Samida baik untuk mencengkeram batu, tanah, serta menyerap dan menangkap air,” kata Usep.
Daun Pohon Samida berbentuk membundar, berwarna hijau muda, transparan berpendar bila terkena sinar matahari, dengan serat-serat daun terlihat indah menyebar. Bunganya berwarna merah menyala, berbentuk menggantung dan membungkuk, dengan ujung naik yang lancip, seperti lidah api.
Lalu, apakah sampai saat ini Pohon Plasa atau bekas-bekas Pohon Palasa ditemukan di Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor? “Itu tugas para arkeolog, sejarawan, mengapa tidak ada jejak-jejak Pohon Samida? Kami membayangkan ketika tebang habis untuk ditanami jenis-jenis yang lain, itulah yang mungkin terjadi. Ketika terjadi Cultuurstelsel (catatan: sistem tanam paksa) saat penjajahan Belanda, babat semuanya, yang penting tanam karet, coklat, pala, cengkeh, cendana, yang lain out,” kata Usep Soetisna.
Menurut Usep, di Jawa Barat jejak-jejak Samida sedikit. Tapi, masih ada yang bisa terlacak, seperti Desa Samida di Limbangan Garut. Juga, Desa Bukit Samida di Raja Desa, Ciamis. Di Kabupaten Majalengka ada Pohon Palas yang mungkin umurnya sekitar 200 tahun. Pohon Palasa pernah dijumpai pada 1901 di dekat Jatinegara, Batavia (nama Jakarta pra kemerdekaan). Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Madura, Pohon Ploso masih bisa ditemui, di daerah ini masyarakat menggunakan Daun Ploso untuk pembungkus makanan, seperti halnya Daun Jati. “Jadi, sisa-sisa itu memang harus kita lacak,” imbuh Usep.
Rachmat Iskandar, pengamat sejarah dan penggiat cagar budaya, melihat dari sudut pandang yang lain. Menurut Rachmat, Sri Baduga lebih lama tinggal di Galuh daripada di Pajajaran [catatan: Kerajaan Sunda pernah beribu kota atau berpusat pemerintahan berpindah di dua tempat: Kawali, Galuh (saat ini Ciamis) dan Pakuan, Pajajaran (saat ini Bogor)]. “Sangat kental bahwa yang namanya Samida itu ada di Galuh, Kawali, di Ciamis. Di sana lebih mendukung untuk kesejarahan seperti Samida. Di sana ada toponimi dan nama dari jenis pohon itu. Kalau di Bogor, mohon maaf, saya belum pernah menemukan ya,” kata Rachmat. Sangat kurangnya data-data dan naskah-naskah yang terkait dengan Samida. “Saya agak sedikit sulit mengatakan kaitannya di Bogor itu– dalam tanda petik– ada Pohon Samida,” imbuh Rachmat.
Kalau bicara Pohon Samida dikaitkan dengan religi Hindu atau Budha, menurut Rachmat, ada satu pendapat yang ditulis oleh Saleh Danasasmita bahwa konon kabarnya salah satu fungsi dari Pohon Samida adalah untuk membakar jenazah. “Ini baru bentuk pernyataan, bukan sebuah penelitian. Di Kota Bogor ada kawasan yang namanya Babakan Bombay, di sekitar Sukasari. Di sana berdasarkan wawacara dengan warga setempat, ada yang disebut tempat pembakaran mayat. Jadi, hal-hal semacam itu sebetulnya di kota bogor belum tergali dengan sepenuhnya oleh para Budayawan Bogor sendiri. Apalagi, kalau berbicara bahwa Samida untuk membakar mayat, banyak hal yang sangat dipertentangkan, tidak dipercaya oleh masyarakat Bogor sendiri,” kata Rachmat.
Tapi, Rachmat Iskandar meyakini, kalau itu dikatakan sebagai sebuah lingkungan pohon, leuweung larangan, atau hutan larangan– tidak boleh sembarangan masuk, menebang pohon, dan merusak. “Karena salah satu konsep dari Orang Sunda adalah mencintai lingkungan. Kemudian di situ ada Samida merupakan sebuah pohon, ya bisa saja bagian dari sebuah hutan ada Pohon Samida, maka dikenal sebagai Hutan Samida,” ujar Rachmat.
Sedangkan menurut Budayawan Bogor, Ace Sumanta– yang hadir dalam diskusi tersebut dan sempat menanam bibit Pohon Samida di daerah tempat tinggalnya di Cibungbulang, Kabupaten Bogor, “Sepanjang saya ingat bahwa Samida ditemukan di Kabupaten Bogor baru sekali-kali ini ketika kami menanamnya di sana. Jadi, mulai ramai.” Selain itu, menurut Ace, Camat Sukaraja pernah mengatakan bahwa di Kampung Nagrak, Cibeduk Raden, Kabupaten Bogor ada cerita tentang Samida. Juga, di daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor, ada abah-abah yang umurnya hampir 100 tahun pernah mendengar kata Palas. “Tapi, dia juga ragu kalau itu adalah Palasa,” kata Ace.
Usaha untuk menanam Pohon Samida sudah dilakukan di beberapa tempat, selain di Saung Kiray, Kota Bogor dan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Menurut catatan Usep Soetisna, tidak kurang dari 50 lokasi sudah menanam Pohon Samida– yang bibitnya diambil dari biji yang didapat dari Pohon Samida yang ditanam dan hidup di hutan konservasi Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur— Kampus Universitas Pakuan Bogor, Taman Air Mancur Kota Bogor, lingkungan Katedral Kota Bogor, lingkungan Pura Gunung Salak, lingkungan Masjid Jami Al Quba Cibungbulang, Sekolah Vokasi IPB, hingga Cianjur termasuk Ciamis dan Garut.
Khusus di Garut, ternyata Bupati Garut Bapak Rudy Gunawan sudah lebih awal mengenali Samida sehingga proses penanaman Samida di halaman Pendopo Bupati berjalan lancar, begitupun di halaman DPRD, Kampus UNIGA dan IPI Garut.
Usaha menguak Samida dan menanamnya telah dimulai. Simpul-simpul sejarah, budaya, dan lingkungan hidup, masih menunggu untuk terus dibuka, hingga terang terbit, tak hanya di Bumi Pakuan Pajajaran, juga seluruh Nusantara, melalui manfaat dan filosofi Samida.